Sunday, October 24, 2010

Senyum Dinda (Istriku yang tersayang, I Love You Just the way you are.” )

Pagi ini... wajah manismu menyapaku halus. Senyummu masih sama seperti enam tahun lalu. Kacamata minus itu tak menutupi mata teduhmu kala membangunkanku tiap pagi. Dinda... oh...Dinda... tak terasa enam tahun sudah kita berlarung menjelajah samudra rumah tangga dengan bahtera cinta. Kau telah memberiku dua jundi kecil yang lucu-lucu, cerdas dan mereka berdua tampan sekali seperti abinya. Aku tersenyum-senyum sendiri mematut menghadap cermin kala membandingkan wajahku dengan anak-anakku yang lahir dari rahimmu tapi mereka mirip aku.

Waktu sarapan telah tiba. Ritual pagi seperti ini yang seringkali membuat kekagumanku padamu kian hari kian bertambah. Dengan cekatan kau lakukan semuanya sendiri dengan tanganmu, kau tak mau membiarkan tangan orang lain menyentuh pekerjaan rumah dan segala persiapan untuk suamimu. menyiapkan sarapan di meja makan adalah rangkaian pekerjaan terakhir setelah sebelumnya kau rapikan lipatan bajuku dengan panasnya setrika cintamu. Dinginnya air kau hangatkan pula dengan sentuhan cinta untuk suamimu ini mandi. Tak lupa anak-anak kita, sebelum keberangkatannya ke sekolah dan playgroup. Kau membuat mereka agar setampan abinya. (hihihi...lagi-lagi aku tersenyum)

Tepat pukul 7.30, aku dan kamu siap memburu waktu menuju kantor yang kebetulan kita satu atap. Setelah sebelumnya kita antar si sulung dan bungsu kita ke tempat mereka belajar masing-masing di sekolah yang berbeda. Eitz.. tapi kok ada yang lupa ya...
“Sepertinya ada yang masih mengganjal dihatiku pagi ini Dinda...”
“Apa kak? Adakah yang terlupa? Biar Dinda ambilkan kedalam” sembari memberikan tas kerjaku langkahmu seperti siap berbalik arah menuju pintu rumah yang baru saja kau tutup dan menguncinya. Aku tak membiarkanmu begitu saja berlalu. Ku tarik tanganmu kemudian kuhadapkan tubuhmu menghadapku. Aku menatap matamu dalam-dalam, sementara tanganku menggenggam tangan lembutmu dengan sangat erat. Tak peduli anak-anak kita menunggu abi dan umminya di ambang pagar rumah kita. Kemudian aku berkata...
“aku lupa memandang senyum manis istriku pagi ini” kataku memuji.
Kamu tersenyum “kakak tebak sudah berapa lama kita menikah?”
aku tergagap sebentar... melongo, lho kok nanya itu. Hatiku membatin kemudian menghitung dalam diam sesaat aku berpikir perasaan baru kemarin aku datang kerumahmu di temani seorang ustadz, menyatakan bahwa aku ingin menjadikanmu sebagai istriku. Lalu proses kita berjalan, keluarga besar kita dikumpulkan untuk menyaksikanku berucap ikrar ‘aku terima nikahnya dengan mas kawin sebagaimana tersebut tunai." kataku cuek sembari menatap anak-anak kita dengan senyum berharap mereka mau sedikit bersabar menanti Abi dan Umminya yang sedang sibuk merajut tangkai-tangkai bunga cinta di pagi ini.
Kamu tertawa. Wuih...manis sekali. Mungkin bila kopi yang kusruput tadi pagi terasa kurang manis di lidah, cukup ku pandangi wajahmu Dinda. “kita sudah lebih dari lima tahun menikah kak” katamu sambil memandang si sulung kita yang kini telah berusia lima setengah tahun.

Perjalanan ke kantor terasa begitu syahdu. Aku beruntung selalu di temani istri sepertimu. Tak terbayangkan jika dirimu suatu saat mendahuluiku menghadapNYA. Aku ingin aku lah yang terlebih dulu melepas nikmat dunia dengan kematianku di pangkuanmu Dinda. Sungguh, aku tak sanggup jika aku yang melihatmu terbujur kaku. Ah... aku terlalu pengecut berpikir. Tapi begiitulah manusia seharusnya mengingat Allah tak hanya pada masa-masa sulit. Tapi di tengah kebahagiaan pun kita harus mengingati mati yang selalu mengintai kemanapun jiwa ini terbawa.
Aku kembali menengok kearahmu. Hmm... masih tetap cantik, tak berubah. Syukurlah...sayang waktu tak berpihak padaku untuk lebih lama menikmati kecantikanmu.

Sesampainya di kantor. Dari dalam ruang kerjaku. Sekilas, ketika tatapanku melongok keluar memandang tumbuhan, bangunan dan manusia yang tidak beraturan dan sangat berantakan, menyelinap dedaunan kehidupan enam tahun lalu. Ketika tarbiyah menyentuh dan menanamkan ke hati sebuah tekad untuk menyempurnakan Dien. Bahwa  Allah akan memberikan pertolongan. Bahwa rezeki akan datang walau tak selembar pun kerja kugeluti saat itu. Bahwa tak masalah menerapkan prinsip 3K (Kuliah, Kerja, Kawin).


Sungguh, kala itu kupikir hanya wanita bodoh saja yang mau menerimaku, seorang jejaka tanpa harapan dan masa depan. Tanpa kerja, apalagi punya perusahaan. Tanpa deposito dan orang tua mapan. Tanpa selembar modal ijazah sarjana yang saat itu sedang kukejar. Tanpa dukungan dari keluarga besar untuk menanggung biaya-biaya operasional.

Subhanallah, nekad sekali wanita satu ini. Mau saja diajak berkelana tanpa bekal di tangan yang cukup oleh seorang laki-laki yang belum kenal betul. Aku bukan pacarmu. Kau juga bukan pacarku. Ibarat mengarungi lautan, kau dan aku hanya punya sampan
Yang ada hanya sejumput tekad untuk menyempurnakan dien dan setangkup keyakinan bahwa Allah pasti akan bersama kita. Keyakinan itu yang semakin hari semakin berevolusi dan menjadi realitas. Sesuatu yang kalkulatif memang tidak menjadi jaminan. Sesuatu yang terpikir oleh rasio dan sel-sel otak kita tidak selamanya menjadi kenyataan, termasuk ketakutan dan kecemasan. Sungguh, doesn’t make a sense bila berpikir bagaimana kapal itu bisa dikayuh.

Ternyata, memang benar. Allah akan menjamin rezeki seorang yang menikah. Allah akan memberikan rezeki dari arah yang tidak terduga. Walaupun tetap semua janji itu muncul dengan sunatullah, kerja keras. Dan, Kerja keras itu terasa nikmat dengan doa dan dampingan seorang wanita yang rela dan ikhlas menjadi istriku dialah dirimu Dinda.
JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur 32) ...

Aku berceloteh sendiri dalam diam.
Aku akan selalu ingat kata-katamu bahwa perhatian kecil yang diberikan pada saat yang tepat akan menumbuhkan cinta yang besar.
Istriku cantik sekali pagi ini. Maafkan. Bila selama ini aku berpikir kata-kata itu tak bermanfaat untuk di ungkapkan. Aku memang terlalu rasional, monoton, kurang dimensi, pragmatis dan terlalu realistis
Aku tahu kau menyimpan kekecewaan. Untunglah, kau bijak. Kekecewaan itu tak pernah membesar. Kamu selalu bisa mengembalikan semua keceriaan itu dengan seulas senyum yang menyelinap dibalik penat dan kelelahan. Kamu selalu berkata, “kak, I Love You Just the way you are.”
Doakan aku untuk bisa mengembalikan kembali puing-puing perhatian yang merepih ini menjadi sebuah kekuatan untuk bisa mencintaimu karena Allah. Please, berikan aku kesempatan untuk bisa terus bersamamu till death do us part.




*Sebuah catatan untuk umminya Azam...
sembari menanti kedatanganmu ke Jawa (Semarang). Hihihi maafkan jika tak sesuai. Namanya juga ngarang. Yang pentingkan pesannya.
Jangan takut menikah...!! ^_^

No comments:

Post a Comment